Selamat sore teman-teman di seluruh Indonesia,
Kami (YSRI) ingin berbagi sedikit cerita kepada teman-teman, berupa "catatan kecil Yusuf Susilo Hartono". Selamat membaca..
Ketika Yusuf Susilo Hartono ikut rombongan Yayasan Seni Rupa Indonesia ke Bangkok, Thailand, pada pertengahan 1990-an untuk mengantar para pemenang kompetisi Philip Morris Indonesia Art Awards berlaga dalam kompetisi Philip Morris Asean Art Awards, YSH sempat berkunjung ke Kedutaan Besar RI di Bangkok. Selain untuk menyempatkan diri bertemu dengan Duta Besar disana, YSH juga bertemu Atase Pertahanan dan pejabat-pejabat teras lainnya. Dalam perbincangan waktu itu sempat tercetus nada cemas saat mendengar isu Indonesia bakal dijadikan ajang narkoba oleh kekuatan internasional berjejaring pemain-pemain lokal. Apa tujuannya? Tak lain untuk menghancurkan fisik dan mental generasi muda kita, agar Indonesia kehilangan satu generasi bangsa ini.
Setiba YSH kembali ke tanah air, ucapan Atase Pertahanan itu timbul tenggelam dalam ingatan YSH. Namun setiap kali membaca berita maupun melihat tayangan di TV soal narkoba, pasti teringat kembali ucapan itu. Bahkan semakin kesini, ucapan itu semakin menunjukkan kebenarannya dengan berbanding kondisi yang terjadi di tanah air.
YSH tercenung bahkan miris ! Apalagi ketika beberapa waktu lalu membaca pernyataan Deputi Pencegahan Badan Narkotika Nasional (BNN) di sebuah situs online, bahwa sebanyak 22 persen pengguna narkoba di Indonesia berasal dari kalangan pelajar, meminjam bahasa gaul anak muda jaman sekarang "saya makin galau", ucar YSH. Jumlah 22 persen tersebut menempati urutan kedua di Indonesia, terbanyak setelah pekerja yang menggunakan narkoba.
Berbekal cerita Atase Pertahanan KBRI di Bangkok dahulu, ditambah dengan data yang dilansir oleh pejabat BNN itu, membuat pribadi YSH respect dan selalu mengapresiasi siapapun yang berupaya mengambil langkah-langkah penyadaran dan pencegahan kepada masyarakat, maupun upaya penyelamatan dan rehabilitasi bagi para korban narkoba, serta menghukum sang pelaku dan kaki tangannya dengan hukuman yang setimpal.
Tentu saja apresiasi itu termasuk yang YSH tujukan kepada Yayasan Seni Rupa Indonesia (YSRI), lewat acara tahunan Kompetisi Nasional Seni Lukis Remaja (KNSLR) yang diselenggarakan pada tahun kemarin. Pilihan tema yang diangkat pun "Keren Tanpa Narkoba" memiliki bobot kesadaran, sekaligus menunjukkan kepedulian YSRI (lembaga seni rupa nirlaba tertua di Indonesia) terhadap masa depan pelajar atau generasi muda Indonesia. Hal ini menyadarkan masyarakat bahwa ruang lingkup seni rupa "peduli" dan ikut berperan dengan masalah-masalah sosial, dengan bermodalkan bahasa gagasan (konsep), teknik, elemen garis, bidang, warna, komposisi, ritme, perspektif, harmoni hingga keindahan.
Kalau kita semua melihat, pandangan dan suara-suara visual imajinatif dari dalam karya peserta, yang kebanyakan dari kalangan pelajar, dapat dikelompokkan menjadi tiga kecenderungan besar.
Kecenderungan pertama, entah mengapa beberapa peserta dari daerah berbeda memiliki bayangan yang sama, bahwa dunia narkoba adalah dunia sebab-akibat. Persepsi seperti itu, menggiring mereka pada pemecahan visual, yang membagi ruang kanvas menjadi dua bagian. Bagian bawah atau samping kiri sebagai dunia sebab, dan bagian atas atau samping kanan sebagai dunia akibat. Tentu saja persepsi seperti ini menjadi menarik, sekaligus menjadi kunci atas pemahaman mereka atas mereka atas tema "Keren Tanpa Narkoba".
Kalau diterjemahkan dengan kata-kata, visualisasi yang diterapkan pada kebanyakan lukisan mereka, berbunyi begini : "Kalau Anda mau menjauhi narkoba itu, maka Anda akan berhasil menjadi juara kehidupan". Untuk menggambarkan keberhasilan tersebut, diantaranya ada yang menggambarkan dengan membawa piala atau medali.
Ada juga yang menggambarkan hal tersebut dengan dua batang pohon yang saling bertarung : yang satu tumbuh ke atas (lambang kebaikan) dengan masing-masing cabang ranting daun seperti berbentuk wajah-wajah. Pohon satunya lagi tumbuh ke arah bawah (lambang keburukan). Nah, pertemuan akar-akar dari kedua pohon ini terdapat rongga bayi, yang mengajak kita untuk berfikir : "Iya ya, bayi-bayi di Indonesia itu sejak lahir telah dijadikan ajang tarik-menarik antara dunia narkoba dan kehidupan positif. Kalau si bayi dalam perkembangannya kemudian mendapat lingkungan (keluarga, sekolah, pergaulan, dll) yang baik, maka ia bisa ikut ramai-ramai menaiki tangga prestasi dalam kehidupan bermasyarakat".
Kecenderungan kedua, adalah subjek dan dunia batin, secara visual menunjukkan pada kita bahwa ketika tubuh ingin diracuni oleh narkoba, tidak selalu seiring dengan suara batin. Ada yang mengidentikkan suara batin adalah suara Tuhan. Dan ada juga yang mengibaratkan suara batin sebagai perumpamaan warna putih bersih. Maka bisa dibayangkan, dalam diri seorang korban narkoba, sesungguhnya telah terjadi pertempuran antara "yang nyata" dan "yang seharusnya", sehingga menimbulkan ketegangan. Pada titik ketegangan inilah, ketika dieksplorasi ke dalam lukisan menjadi monolog yang mencekam.
Kecenderungan ketiga, adalah kecenderungan simbolis. Para pelukis remaja ini, dalam menyuarakan pendapat artistiknya, menggunakan berbagai macam simbol konvensional hingga aktual, sehingga karya mereka bisa cepat ditangkap oleh sesama remaja maupun generasi diatas mereka. Misalnya, untuk menggambarkan bahwa narkoba tidak lepas dari pengaruh global, mereka menggunakan simbol aktual media sosial, diantaranya logo facebook, twitter, you tube, dan lain-lain.
Alhasil, inti dari semua kecenderungan tersebut adalah satu, yaitu keinginan menghapus narkoba ! Sebab di bawah kibaran bendera merah putih dan kepak sayap burung garuda, kalangan remaja Indonesia memang keren tanpa narkoba, dan dapat selalu menghiasi hari-harinya dengan prestasi yang mampu dibanggakan.
Selamat berkarya !