Senin, 06 Februari 2012

IAA 2010

Pewacanaan Contemporaneity
[Dalam Biennalle Indonesia Art Award 2010]
Oleh : Jim Supangkat
Memasuki dekade awal 2000 penyelenggaraan art fair menjadi tanda penting global contemporary art pada dekade 1990 ditandai tradisi biennale internasional yang diselenggarakan di sejumlah kota metropolitan dunia. Pada akhir 2008, Dubai International Financial Center, penyelenggara Dubai Art Fair menggelar Global Art Forum bersama The Financial Times yang melibatkan sekitar 80 kolektor terkemuka dunia, balai-balai lelang dunia, para investor dan art dealers. Tema pertemuan ini terdengar seperti sebuah manifesto: “Art is Business”.

Global contemporary art seperti menemukan dasarnya: globality yaitu identifikasi global reality (mengangkat terutama realitas di dunia bisnis) di mana terjadi desentralisasi dan pencampuran global-local yang memunculkan tanda-tanda kesetaraan dan keseragaman. The Boston Consultant Group Inc. dalam sebuah terbitannya menafsirkan globality sebagai berikut ; 

Itulah nama bagi suatu realitas global yang baru dan berbeda, yangdi dalamnya kita akan bersaing dengan semua orang, dari semua tempat, untuk semua hal. Perusahaan tak memiliki pusat. Ide tentang keasingan merupakan sesuatu yang asing. Perdagangan berputar dan dominasi pasar bergeser. Sifat ortodoks bisnis Barat berkelindan dengan filsafat bisnis Timur dan menghasilkan suatu kerangka pikir yang sama-sekali baru, yang merangkul keuntungan dan kompetisi serta keberlanjutan dan kolaborasi.[i]

Namun itu bukan akhir cerita. Di luar art market, sejak 2006, terjadi juga upaya mengidentifikasi global contemporary art yang justru mempertanyakan tanda-tanda keseragaman. Sejarawan seni rupa terkemuka Hans Belting memulainya dengan melihat global contemporary art sebagai “global art” yang harus dibedakan dari “world art”. Bagi Hans Belting pengertian world art mencerminkan pemahaman modernisme yang hegemonik.[ii]

Dalam pembacaan saya pengertian world art berpangkal pada pemikiran modern tentang realitas dalam lingkup universal. World art adalah Western art yang di-claim berlaku di seluruh dunia setelah dikukuhkan sebagai modern art. Asumsi ini berhenti pada claim karena tidak menjadi kenyataan. Model dan pemahaman seni rupa modern di Eropa, Amerika Serikat tidak ada di luar kedua kawasan ini. Kendati modern art dikenal juga di seluruh dunia tidak bisa dipastikan apakah modernismea complicated discoursesesungguhnya dipahami dan kemudian dianut di luar Eropa, Amerika. Namun tidak pernah dikaji bagaimana modernisme mengalami translasi dan transformasi di luar Eropa dan Amerika Serikat dan menjadi modernisme yang berbeda.

Global art, menurut Hans Belting sama sekali bukan tanda-tanda munculnya kenyataan yang diprediksi unversalisme. Global art muncul karena sebab-sebab ekonomi. Perkembangannya di art market tidak peduli pada keseragaman pada universalisme. Bisnis membuat global contemporary art memedulikan kekuatan lokal demi kepentingan bisnis (memperhitungkan persepsi publik, persepsi kolektor dan seniman) dan kemudian merayakan perbedaan. Karena itu globalisme, kata Hans Belting, adalah anti-thesis universalisme.[iii]

Dalam pembacaan saya pembedaan “world art” dan “global art” bukan hanya untuk membedakan modern art dan contemporary art. Pembedaan ini meliputi pula pembedaan “contemporary art” dengan “global contemporary art”.
Bila dibaca lengkapcontemporary art” tidak lain adalah “world contemporary art”. Dalam sudut pandang iniworld contemporary art” adalah kontinuitas “world modern art” sekalipun dalam banyak pandangan hubungan ini disangkal karena contemporary art disebut-sebut berada pada platform baru yang sama sekali lain.

Kontinuitas itu membuatworld contemporary artmengandung pengertian hegemonik juga. Tanda-tandanya yaituperubahan besar dari seni rupa modernis ke seni rupa post-modernissulit dimengerti juga di luar Eropa dan Amerika Serikat. Tidak bisa dipastikan juga apakah batasan ini dipahami sepenuhnya di luar Eropa dan Amerika Serikat. Di sini, world contemporary art kembali berhenti pada claim dan tidak menjadi kenyataan. Kemungkinannya adalah contemporary art di luar Eropa dan Amerika Serikat ada tapi tidak sepenuhnya dipahami atau ada sebagai copy yang tidak bermakna. Di sini, pengertian global contemporary art menjadi sangat berarti.

Pertanyaanwhat is contemporary art harus diubah menjadiwhat is global contemporary art ”. Pertanyaan ini memperhitungkan kehadiran contemporary art di seluruh penjuru dunia sebagai kenyataan akibat perkembangan art market. Menurut Hans Belting pertanyaan ini akan menyuruk ke pertanyaan mendasar dan sampai pada pertanyaan yang menantang yaituwhat is art in global sense.[iv]

Buku Terry Smith, What is Contemporary Art? mungkin buku paling komprehensif dalam menguraikan tanda-tanda perkembangan seni rupa kontemporer pada dekade 1990 dan dekade awal 2000. Buku ini memasukkan kajian art market dalam tegangan global-local, membahas sejarah seni rupa dan perkembangan museum dalam pertentangan modern-contemporary, dan benturan arus perkembangan Utara-Selatan dalam kajian post-colonial. Dalam pengamatan saya contemporary art dalam buku ini dibahas baik sebagaiworld contemporary art” maupun sebagaiglobal contemporary art”.
Saya melihatruang antara” yang terletak di antara world contemporary art dan global contemporary art pada kajian Terry Smith itu. Ruang antara ini tecermin pada pembahasan contemporaneity yang disebut, “[...] sifat paling jelas dari gambaran dunia kini (the most evident attribute of the current world picture)”. Tentang ini Terry Smith menulis,

Dalam contemporaneity, tampaknya ada setidaknya tiga set kekuatan yang saling bersaing, terus-menerus saling mengalahkan. Yang pertama adalah globalisasi itu sendiri; terutama kehausannya akan hegemoni di hadapan pembedaan budaya yang makin menjadi (kejamakan yang dilepaskan oleh dekolonisasi), akan mengendalikan waktu di hadapan proliferasi temporalitas asinkronis, dan akan eksploitasi yang terus berlanjut terhadap sumber daya alam dan (sampai suatu tingkat yang belum terlihat) visual, yang berlawanan dengan bukti yang menguat mengenai ketidakmampuan sumber-sumber daya tersebut untuk bertahan dari ekploitasi tersebut. Kedua, ketidaksetaraan di antara bangsa, kelas, dan manusia kini begitu dipercepat sehingga ia mengancam keinginan negara, ideologi, dan agama akan dominasi maupun mimpi kemerdekaan yang terus bertahan dan menginspirasi manusia dan bangsa. Ketiga, kita semua secara acak dan di luar kemauan kita tenggelam dalam suatu infoskop—atau, lebih tepatnya, suatu spektakel, suatu ekonomi imaji atau rezim representasi—yang mampu melakukan komunikasi instan dan menyeluruh atas seluruh informasi dan citraan apapun di mana saja.[v]

Dalam pembacaan saya tegangan hegemoni globality dengan kejamakan (multeity) pada pembahasan Terry Smith sudah muncul sekarang ini dalam bentuk pertarungan image tentang global contemporary art. Pertarungan image ini berpangkal pada pertanyaan: apakah global contemporary art memunculkan “keseragaman” atau sebaliknya justru “keragaman”.

Keyakinan yang percaya pada keseragaman menekankan the present. Melihatnya berdasarkan faktor spatial membuat contemporary art mempunyai makna tetap dan pasti; tidak dipengaruhi faktor temporal yang membuat makna selalu menjadi tidak tetap dan cenderung terus berubah. Penekanan faktor spatial membuat keyakinan ini cenderung memutuskan the present dari sejarah contemporary art (catatan: selain dipengaruhi faktor spatial dan temporal suatu makna selalu dipengaruhi oleh sejarah pengertiannya). Gejala ini tecermin pada upaya meninggalkan predikat “contemporary” dan menggantinya dengan predikat “now”. Muncul kemudian istilah “art now” yang sekarang semakin lama semakin banyak digunakan. Saya tidak bisa menghindar dari sikap kritis yang melihat penggunaan istilah “art now” ini seperti kembali pada identifikasi “the cutting edge” pada avantgardisme modernis.

Pada keyakinan itu, pengertian contemporaneity yaitu “the quality of belonging the same period of time,” dan “the quality of being current or of the present ” sama sekali tidak bermasalah.[vi] 

Pada keyakinan ini semua seniman di seluruh dunia (khususnya generasi sekarang) adalah contemporaries, bersama-sama berada pada masa kini. Bersama-sama mempraktikkan “the” contemporary art yang membawa tanda-tanda globality.

Kebalikan dari keyakinan itu, saya percaya bahwa global contemporary art justru memunculkan/menegaskan keragaman karena lingkupnya dalam kenyataan mengalami peluasan. Keragaman inilah yang membedakan global contemporary art dengan world contemporary art. Karena itu saya melihat pentingnya faktor temporal dalam upaya mengidentifikasi global contemporary art. Mencari tanda-tanda bahasa yang membawa perubahan pada pemaknaan contemporary art dan menelusuri sejarah pengertiannya.

Di sini “contemporaneity” adalah istilah di mana tanda-tanda bahasa itu bisa dicari karena itu contemporaneity bukan istilah yang “tidak bermasalah” seperti dalam pembahasan art now. Bagi saya, contemporaneity justru “istilah yang bermasalah” dalam pembahasan global contemporary art.
Berdasarkan keyakinan itu saya cenderung membuka pembahasan contemporaneity dan menempatkannya pada tingkat mediasi. Inilah discoursing contemporaneity yang bisa dikaitkan dengan pertanyaan Hans Belting, “What is art in global sense?”. Dasar discoursing ini adalah mengkaji “art sensibility ” yaitu the notion of art at large, melalui kacamata pluralis. Mengaktifkan kembali kesadaran yang sekarang ini mulai memudar, yaitu mengakui art sensibility sebagai gejala universal, namun menyangkal art phenomenon sebagai realitas satu substansi yang punya esensi absolut dan universal.

Pada perkembangan seni rupa kontemporer upaya mengangkat contemporaneity sebagai istilah yang-bermasalah dilakukan Jean-Hubert Martin melalui pameran menghebohkan, Les Magiciens de la Terre di Pusat Kebudayaan Pompidou, Paris pada 1989. Pada pameran ini Jean-Hubert Martin mendampingkan karya-karya seni rupa kontemporer dengan karya-karya seni rupa tradisional antara lain instalasi tanah pendeta-pendeta Tibet, dan, lukisan perempuan-perempuan Uttar Pradesh, India yang menggunakan bidang lukisan menyerupai kanvas.

Pameran itu memunculkan kontroversi panjang dan dibahas selama bertahun-tahun di fora contemporary art. Pada kontroversi ini Jean-Hubert Martin diserang dunia seni rupa di Prancis dan di dunia. Sesudah itu percobaan Jean-Hubert Martin tidak berlanjut pada perkembangan seni rupa kontemporer.
Gejala itu menunjukkan cara paling umum memahami multeity dalam perkembangan seni rupa dan membuat contemporaneity menjadi terpusat pada pertanyaan sama-tidaknya seni rupa kontemporer dengan “seni rupa kontemporer etnik” yang kemudian tidak bisa dibahas; selalu menghadapi kebuntuan. Masalahnya terletak pada kata “quality” pada pengertian contemporaneity,

Dalam contemporary art discourses “quality” itu bertumpu pada art in Western sense yang tentunya tidak sama dengan ”quality” yang bertumpu pada ethnic art sensibilities. Di sini terletak kebuntuan pembahasan contemporaneity karena tidak ada platform untuk membahas secara simultan art in Western sense dan art in ethnic sensibilities karena kajian art in ethnic sensibilities terkurung dalam lingkup etnologi dan antropologi dari zaman kolonial sampai sekarang.[vii] 

Dilema ini memperlihatkan modern thinking sensibility di mana commensurability yang mendasari semua pemikiran modern mengalami benturan dengan incommensurability thesis yang dipegang para etnolog dan antropolog.
Pada perkembangan seni rupa modern pertanyaan, “apakah art in ethnic sensibilities bisa disamakan dengan art in Western sense” bisa segera dijawab dengan tegas “tidak” karena dalam modernisme, modernitas diyakini adalah kontradiksi tradisionalitas. Pada perkembangan seni rupa kontemporer yang menentang modernisme pertanyaan ini seharusnya menyodorkan jawaban yang berbeda. Namun pada kenyataannya pertanyaan ini tidak bisa dijawab.

Gejala ini menunjukkan masih berpengaruhnya visi modern bahkan visi kolonial dalam perkembangan seni rupa kontemporer. Karena itu saya cenderung tidak mencoba menjawab pertanyaan “apakah ethnic art sensibilities bisa disamakan dengan art in Western sense”. Saya justru mempertanyakan mengapa pembahasan contemporaneity pada global contemporary art harus kembali ke pertanyaan ini?
Kendati saya tidak meninggalkan persoalan ethnic art sensibilities saya cenderung mencari jalan memutar dengan mengkaji the present condition yaitu membandingkan contemporary art, inside dan outside Eropa dan Amerika Serikat. Contemporary art adalah wilayah di mana perbandingan ini bisa dilakukan untuk menemukan baik kebedaan maupun kesamaan. Di wilayah seni rupa modern, tidak ada ruang untuk perbandingan ini.[viii]

Perbandingan itu tidak berhenti pada the present. Perbandingan ini melibatkan pengkajian sejarah bagaimana contemporary art muncul inside dan outside Eropa dan Amerika Serikat. Melihat kembali perkembangan sebelum kemunculan seni rupa kontemporer, lalu mundur lebih ke belakang lagi ke tanda-tanda pada abad ke-19 di mana modern thinking sensibilities dan visi kolonial berpangkal. Selain itu pada abad ke-19 bisa ditemukan pangkal adaptasi pemikiran modern di luar Eropa dan Amerika Serikat, dan bagaimana pemikiran ini diterjemahkan dan mengalami transformasi. Termasuk di sini adaptasi dan penerjemahan art in Western sense.

Dari perbandingan itu bisa ditemukan kebedaan maupun kesamaan perkembangan seni rupa inside, outside Eropa dan Amerika sejak abad ke-19. Akan terlihat bahwa dasar perkembangan seni rupa di luar Eropa dan Amerika Serikat sejak abad ke-19 adalah translasi art in Western sense yang mendasari perkembangan seni rupa modern yang lain, di mana tidak ada kesadaran memisahkan modern art sensibilities dengan ethnic art sensibilities yang menandakan penolakan kontradiksi modernitas dan tradisionalitas di luar Eropa dan Amerika Serikat. Karena itu pengaruh ethnic art sensibilities bisa ditemukan.

Dari perbandingan itu akan terlihat pula bahwa perbedaan modern art dan contemporary art di luar Eropa dan Amerika Serikat ternyata tidak tajam. Karena itu kehadiran ethnic art sensibilities pada seni rupa kontemporer merupakan kelanjutan perkembangan sebelumnya dan bukan karena “reaksi” pada pertentangan modernisme-Pluralisme.
Tanda-tanda itu menunjukkan bahwa pertanyaan “sama-tidaknya seni rupa kontemporer dengan seni rupa kontemporer etnik” bukan pertanyaan dilematis pada perkembangan seni rupa kontemporer di luar Eropa dan Amerika Serikat. Jawaban pertanyaan ini bisa menunjukkan multeity pada global contemporary art.
Pada 2008, Galeri Nasional Indonesia menyelenggarakan sebuah pameran besar seni rupa Indonesia untuk memperingati 100 tahun kemunculan kesadaran nasional (1908). Untuk penyelenggaraan ini, pemikiran tentang art sensibility di balik istilah “seni”—dan dasar-dasarnya yang muncul pada abad ke-19—disebarkan ke semua seniman Indonesia yang sudah mendapat pengakuan. Tujuannya mendapat kesepakatan yang dinyatakan melalui komentar atau paling tidak melalui kesediaan mengikuti pameran.

Pameran ini terselenggara dan diikuti 354 seniman dari empat generasi (mayoritas seniman Indonesia ternama). Judul pameran, ”Manifesto” menunjuk pernyataan seniman Indonesia tentang art in Indonesian sense yang terletak di antara art in Western sense dan ethnic art sensibilities.[ix]

Art in Indonesian sense itu mendasari perkembangan seni rupa di Indonesia dari awal abad ke-20 sampai sekarang dan menyebabkan seluruh garis perkembangannya—pada era modern maupun contemporary—berbeda dengan perkembangan seni rupa di Eropa dan Amerika Serikat yang bertumpu pada art in Western sense.

Art in Indonesian sense ini sebuah tanda multeity pada global contemporary art. Di sektor ini kontroversi pengertian contemporaneity—seperti terjadi pada penyelenggaraan pameran Les Magiciens de la Terre—tidak akan muncul. Pertanyaan, “bisakah art in Indonesian sense disamakan dengan ethnic art sensibilities,” bukan pertanyaan dilematis yang tidak bisa dijawab. Kesamaan dan kebedaannya bisa dengan mudah diidentifikasi. Sama mudahnya dengan memahami perbedaan dan persamaan art


[i] It’s the name for a new and different global reality in which we’ll be competing with everyone, from everywhere, for everything. Companies have no centers. The idea of foreignness is foreign. Commerce swirls and market dominance shifts. Western business orthodoxy entwines with eastern business philosophy and creates a whole new mind-set that embraces profit and competition as well as sustainability and collaboration. (Globality - Competing With Everyone From Everywhere for Everything. Ditulis bersama oleh Harold L. Sirkin, James W. Hemerling dan Arindam K. Bhattacharya. Business Plus. NY. 2008. hlm. 1 - 2.)
[ii] Contemporary Art as Global Art, A Critical Estimate,” Hans Belting. Dalam The Global Art World. Audiences, Markets and Museums. Hans Belting, Andrea Buddensieg (ed.). Hatje Cantz. Ostfinden. 2009. hlm. 38-73.
[iii] Ibid.
[iv] Makalah utama dalam seminar, “A New Geography of Art in the Making” yang diselenggarakan Center for Art and Media, Karlsruhe bersama Göethe Institute di Hongkong 21- 22 Mei, 2009.
[v]Within contemporaneity, it seems to me, at least three sets of forces contend, turning each other incessantly. The first is globalization itself, above all, its thirsts for hegemony in the face of increasing cultural differentiation (the multeity that was realesed by decolonization), for control of time in the face of the proliferation of asynchronous temporalities, and for continuing exploitation of natural and (to a degree not yet seen) visual resources against the increasing evidence of the inability of those resources to sustain this exploitation. Secondly, the inequity among peoples, classes, and individuals is now so accelerated that it threatens both the desires for dominations entertained by states, ideologies, and religious and the persistent dreams of liberation that continue to inspire individuals and peoples. Thirdly, we are all willy-nilly immersed in a infoscope—or better, a spectacle, an image economy or a regime of representations—capable of the instant and thoroughly mediated communication of all information and any image anywhere. (What is Contemporary Art? Terry Smith. University of Chicago. Chicago-London.2009. hlm. 5-6)
[vi] Wikipedia.
[vii] Gejala ini bisa dilihat pada tulisan Denis Dutton, “But They Don’t Have Our Concept of Art”. Dalam Theories of Art Today. Noël Caroll. (ed). The University of Wisconsin Press. London. 2000. hlm.217-238
[viii] Pada tahun 1990, pameran Modern Indonesian Art, Three Generation of Tradition and Change yang disusun Joseph Fisher, Astri Wright (Amerika Serikat) dan Helena Spanjard (The Netherlands) dan merupakan bagian dari Festival of Indonesia in United States, ditolak museum-museum di Amerika Serikat. Para kurator dianjurkan membawa proposal pameran ini ke museum-museum antropologi karena sejumlah besar karya memperlihatkan tanda-tanda etnik.
[ix] Lihat “Manifesto Seni”. Curatorial Introduction. Jim Supangkat. Katalog Manifesto - Pameran Besar Seni Rupa Indonesia. Indonesia National Gallery. Mei-Juni 2008.

2 komentar:

  1. http://www.facebook.com/KdmArtSpace
    The mission: to help developing street children into an artist, designer or craftsman under the guidance of KDM ART Space 02197259312

    BalasHapus
  2. Terima Kasih atas Informasi yang diberikan,
    di Web Anda saya bisa bertambah ilmu tentang dunia seni rupa di Indonesia

    BalasHapus

INDONESIA ART AWARD