Kamis, 30 April 2015



Apakah  “hal publik” pada karya seni ?
Persoalan—atau hal—pada karya seni yang tidak sekadar komunikatif. Persoalan ini lebih jauh bisa menarik minat publik untuk membicarakan persoalan ini  dan mendiskusikannya. Paling tidak berkomentar. Dasarnya adalah keinginan seniman berkomunikasi.

 
Apa sebenarnya keinginan berkomunikasi ?
Semacam “pamer” yang bisa dimaknai sebagai upaya atau keinginan atau dorongan memperlihatkan kepada publik sesuatu hal yang dianggap penting atau utama dengan cara membangkitkan kesan atau impresi pada publik. Ringkasnya mencoba menarik perhatian.  
 
Istilah “pamer” dalam pengertian umum ‘kan punya konotasi negatif.
Benar, istilah “pamer” lebih banyak digunakan untuk menunjuk gejala negatif, seperti pamer kekayaan, pamer kekuasaan, pamer kepandaian dan sebagainya. Namun dalam penciptaan karya gejala pamer ini bisa positif dalam arti keinginan membangkitkan impresi publik untuk menyampaikan sesuatu hal yang dianggap penting.
 
Apakah ini ide baru atau sudah ada pada perkembangan seni rupa kita ?
Sebetulnya sudah meluas khususnya di kalangan seniman muda, walau belum sepenuhnya disadari. Pangkalnya adalah perubahan besar yang dibawa seni rupa kontemporer. Persoalan spesifik seni rupa yang berkaitan dengan individualitas, penjelajahan medium, dan pencarian orginalitas yang dominan di masa lalu pada seni rupa kontemplorer digantikan kecenderungan menampilkan ungkapan yang berkaitan dengan budaya. Perubahan ini membuat persoalan komunikasi menjadi utama. Karena itu pada seni rupa kontemporer muncul gejala pamer yang tercermin pada kecenderungan menguatkan aspek presentasi atau politik penyajian, baik pada pameran seni rupa kontemporer mau pun karya-karya seni rupa kontemporer. Dalam wacana seni rupa kontemporer gejala ini diidentifikasi sebagai teatrikalistas karya-karya seni rupa.
 
Apakah sebenarnya ungkapan yang berkaitan dengan budaya ?
Ungkapan ini menunjukkan kecenderungan seniman mempersoalkan masalah eksternal pada kehidupannya dan bukan masalah internal atau masalah personal. Masalah eksternal ini adalah masalah bersama, masalah yang menjadi isu masyarakat. Atau, bisa juga masalah-masalah personal yang tidak punya batas tegas dengan masalah komunal, dikenal sebagai masalah yang mau di-share dengan orang lain. Masalah-masalah ini teoretis memerlukan pemikiran bersama. Karena itu  pendapat tentang masalah bersama ini selalu memerlukan komentar, pendapat atau pandangan publik karena tujuannya mendapat pembenaran dan pengakuan. Karena itu karya seni yang mengandung pendapat seperti ini berusaha untuk membangkitkan kesan dan impresi publik. Ini cara membangun komunikasi dengan publik.
Gejala komunikasi seperti itu sudah berkembang pada masyarakat akibat perkembangan sosial media sekarang ini.  Gejala kerajingan sos-med pada masyarakat membuat siapa pun bisa dengan mudah membangkitkan impresi dan opini publik. Siapa pun punya peluang  membuat kehebohan. Kondisi ini merangsang gejala pamer pada masyarakat, bahkan sampai membuka berbagai hal personal pada jaringan sos-med. Dalam banyak hal gejala pamer ini melibatkan bahasa rupa seperti foto, foto diri, modifikasi foto, gambar-gambar yang di-copy-paste dan, macam-macam potongan video yang di-dowload dari jaringan internet kemudian disebarkan. Bahasa rupa ini ternyata punya potensi untuk membangun impresi publik.     
 
Mengapa ?
Ini gejala visual culture pada kehidupan masa kini. Pangkal visual culture ini adalah perkembangan bahasa rupa yang sekarang ini diyakini sudah menggeser bahasa tulisan. Contoh, gambar berupa diagram misalnya, ternyata bisa lebih efektif dalam menyampaikan penjelasan daripada uraian secara verbal. Kalau masyarakat saja sudah pintar mengolah bahasa rupa apalagi para perupa dan mereka yang sehari-hari bekerja mengolah bahasa visual. Kenyataan ini yang ingin diangkat pada pameran GGIAA 2015. 
       
Pengayaan bahasa rupa yang sekarang memunculkan visual culture tidak dikarenakan perkembangan seni rupa kontemorer. Pengayaan bahasa rupa ini terjadi terutama karena perkembangan disain—disain grafis pada periklanan, disain produk industri, fashion design, disain lingkungan dan sebagainya—yang melahirkan berbagai tanda dan simbol yang mengepung kehidupan dan kemudian membuat tanda dan simbol-simbol ini menjadi populer. Pada perkembangan seni rupa kontemporer terjadi penggunaan tanda dan simbol-simbol populer itu untuk membangun ungkapan.
 
Apakah batas perupa dan disainer mengabur pada seni rupa kontemporer ?
Betul. Pada perkembangan seni rupa kontemporer kita sangat banyak disainer yang menjadi perupa, dan sukses. Teoretis para disainer sejak dulu terbiasa membangun komunikasi dengan publik. Mereka tahu bagaimana memikat publik melalui bahasa rupa. Para fashion designer, misalnya, tahu betul apa teatrikalitas dan gejala pamer. Sementara itu para perupa, sedikit banyak masih dibayangi keyakinan tentang ekspresi individual dan mitos kedudukan sentral seniman pada kehidupan.
 
Karena itu GGIAA 2015 mengharapkan kesertaan para disainer. Kalau ini berhasil pameran GGIAA 2015 di Galeri Nasional akan tampil beda dibandingkan pameran seni rupa kontemporer yang sudah sering tampil. Hal yang perlu disadari para disainer adalah menekankan kemampuan mereka berkomunikasi, dan, bukan mengutamakan fungsi dan daya jual rancangan yang mereka buat. Fungsi ini harus dibedakan dengan struktur. Seorang graphic designer bisa saja menggunakan format (atau struktur) poster untuk menampilkan ungkapan, Masalahnya bagaimana membangun ungkapan atau message pada poster ini yang tidak punya tujuan promosi atau jualan. Sejalan dengan ini seorang fashion designer bisa saya menampilkan ungkapan dalam bentuk gaun yang mengandung sesuatu ekspresi, dan, seorang product designer bisa juga menampilkan karya dalam bentuk produk.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

INDONESIA ART AWARD