Apakah “hal publik” pada karya seni ?
Persoalan—atau hal—pada karya seni yang tidak sekadar komunikatif.
Persoalan ini lebih jauh bisa menarik minat publik untuk membicarakan persoalan
ini dan mendiskusikannya. Paling tidak
berkomentar. Dasarnya adalah keinginan seniman berkomunikasi.
Apa sebenarnya keinginan
berkomunikasi ?
Semacam “pamer” yang bisa dimaknai sebagai upaya atau keinginan atau
dorongan memperlihatkan kepada publik sesuatu hal yang dianggap penting atau utama
dengan cara membangkitkan kesan atau impresi pada publik. Ringkasnya mencoba
menarik perhatian.
Istilah “pamer” dalam
pengertian umum ‘kan punya konotasi negatif.
Benar, istilah “pamer” lebih banyak digunakan untuk menunjuk gejala
negatif, seperti pamer kekayaan, pamer kekuasaan, pamer kepandaian dan
sebagainya. Namun dalam penciptaan karya gejala pamer ini bisa positif dalam
arti keinginan membangkitkan impresi publik untuk menyampaikan sesuatu hal yang
dianggap penting.
Apakah ini ide baru atau sudah
ada pada perkembangan seni rupa kita ?
Sebetulnya sudah meluas khususnya di kalangan seniman muda, walau
belum sepenuhnya disadari. Pangkalnya adalah perubahan besar yang dibawa seni
rupa kontemporer. Persoalan spesifik seni rupa yang berkaitan dengan
individualitas, penjelajahan medium, dan pencarian orginalitas yang dominan di
masa lalu pada seni rupa kontemplorer digantikan kecenderungan menampilkan
ungkapan yang berkaitan dengan budaya. Perubahan ini membuat persoalan
komunikasi menjadi utama. Karena itu pada seni rupa kontemporer muncul gejala
pamer yang tercermin pada kecenderungan menguatkan aspek presentasi atau
politik penyajian, baik pada pameran seni rupa kontemporer mau pun karya-karya
seni rupa kontemporer. Dalam wacana seni rupa kontemporer gejala ini
diidentifikasi sebagai teatrikalistas karya-karya seni rupa.
Apakah sebenarnya ungkapan
yang berkaitan dengan budaya ?
Ungkapan
ini menunjukkan kecenderungan seniman mempersoalkan masalah eksternal pada
kehidupannya dan bukan masalah internal atau masalah personal. Masalah
eksternal ini adalah masalah bersama, masalah yang menjadi isu masyarakat. Atau,
bisa juga masalah-masalah personal yang tidak punya batas tegas dengan masalah
komunal, dikenal sebagai masalah yang mau di-share dengan orang lain. Masalah-masalah ini teoretis memerlukan
pemikiran bersama. Karena itu pendapat
tentang masalah bersama ini selalu memerlukan komentar, pendapat atau pandangan
publik karena tujuannya mendapat pembenaran dan pengakuan. Karena itu karya
seni yang mengandung pendapat seperti ini berusaha untuk membangkitkan kesan
dan impresi publik. Ini cara membangun komunikasi dengan publik.
Gejala komunikasi seperti itu sudah berkembang pada masyarakat
akibat perkembangan sosial media sekarang ini.
Gejala kerajingan sos-med pada masyarakat membuat siapa pun bisa dengan
mudah membangkitkan impresi dan opini publik. Siapa pun punya peluang membuat kehebohan. Kondisi ini merangsang
gejala pamer pada masyarakat, bahkan sampai membuka berbagai hal personal pada
jaringan sos-med. Dalam banyak hal gejala pamer ini melibatkan bahasa rupa
seperti foto, foto diri, modifikasi foto, gambar-gambar yang di-copy-paste dan, macam-macam potongan
video yang di-dowload dari jaringan
internet kemudian disebarkan. Bahasa rupa ini ternyata punya potensi untuk membangun
impresi publik.
Mengapa ?
Ini gejala visual culture pada
kehidupan masa kini. Pangkal visual
culture ini adalah perkembangan bahasa rupa yang sekarang ini diyakini sudah
menggeser bahasa tulisan. Contoh, gambar berupa diagram misalnya, ternyata bisa
lebih efektif dalam menyampaikan penjelasan daripada uraian secara verbal. Kalau
masyarakat saja sudah pintar mengolah bahasa rupa apalagi para perupa dan
mereka yang sehari-hari bekerja mengolah bahasa visual. Kenyataan ini yang
ingin diangkat pada pameran GGIAA 2015.
Pengayaan bahasa rupa yang sekarang memunculkan visual culture tidak dikarenakan perkembangan seni rupa kontemorer.
Pengayaan bahasa rupa ini terjadi terutama karena perkembangan disain—disain
grafis pada periklanan, disain produk industri, fashion design, disain lingkungan dan sebagainya—yang melahirkan
berbagai tanda dan simbol yang mengepung kehidupan dan kemudian membuat tanda
dan simbol-simbol ini menjadi populer. Pada perkembangan seni rupa kontemporer
terjadi penggunaan tanda dan simbol-simbol populer itu untuk membangun
ungkapan.
Apakah batas perupa dan
disainer mengabur pada seni rupa kontemporer ?
Betul. Pada perkembangan seni rupa kontemporer kita sangat banyak
disainer yang menjadi perupa, dan sukses. Teoretis para disainer sejak dulu
terbiasa membangun komunikasi dengan publik. Mereka tahu bagaimana memikat
publik melalui bahasa rupa. Para fashion
designer, misalnya, tahu betul apa teatrikalitas dan gejala pamer. Sementara
itu para perupa, sedikit banyak masih dibayangi keyakinan tentang ekspresi
individual dan mitos kedudukan sentral seniman pada kehidupan.
Karena
itu GGIAA 2015 mengharapkan kesertaan para disainer. Kalau ini berhasil pameran
GGIAA 2015 di Galeri Nasional akan tampil beda dibandingkan pameran seni rupa
kontemporer yang sudah sering tampil. Hal yang perlu disadari para disainer
adalah menekankan kemampuan mereka berkomunikasi, dan, bukan mengutamakan
fungsi dan daya jual rancangan yang mereka buat. Fungsi ini harus dibedakan
dengan struktur. Seorang graphic designer bisa saja menggunakan format (atau
struktur) poster untuk menampilkan
ungkapan, Masalahnya bagaimana membangun ungkapan atau message pada poster ini yang tidak punya tujuan promosi atau jualan.
Sejalan dengan ini seorang fashion
designer bisa saya menampilkan ungkapan dalam bentuk gaun yang mengandung
sesuatu ekspresi, dan, seorang product
designer bisa juga menampilkan karya dalam bentuk produk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar